Lihat! Tak Terima Putrinya Diselingkuhi, Mertua Bunuh Menantu di Kedai Kopi

Lihat! Tak Terima Putrinya Diselingkuhi, Mertua Bunuh Menantu di Kedai Kopi

Rakyat Merdeka — Singapura digegerkan oleh pembunuhan pada siang bolong di pusat distrik bisnis. Pembunuhan yang terjadi tiga tahun silam tepatnya 10 Juli 2017 akhirnya mencapai babak akhir dengan dijatuhkannya vonis kepada pelaku pembunuhan. Tan Nam Seng divonis hukuman 8,5 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi Singapura, demikian The Straits Times melaporkan, pada Senin (21/09/2020). Pebisnis berusia 72 tahun itu terbukti secara sah dan meyakinkan membunuh Spencer Tuppani (39) di luar sebuah kedai kopi di Jalan Telok Ayer pada pukul 13.20 siang waktu setempat.

Kemelut hubungan mertua dan menantu

Perbuatan kriminal ini tidak sesederhana seperti yang dibayangkan. Investigasi Kepolisian mendapati bahwa Tan adalah mertua Tuppani. Tan rupanya sudah lama memendam kemarahan mengenai perlakuan Tuppani terhadap putri tercintanya Shyller Tan yang adalah istri Tuppani. Pelaku menyebut Tuppani yang sudah dianggapnya sebagai putra sendiri telah mengkhianatinya. Persidangan menyatakan keluarga Tuppani termasuk ibu dan adiknya tinggal di rumah Tan. Tuppani bahkan mempekerjakan mereka di perusahaan yang dipimpin mertuanya. Tan tidak keberatan dan mengizinkannya.

Hubungan mertua dan menantu itu mulai retak setelah Tan mendapati Tuppani memiliki dua anak dari selingkuhannya. Bahkan Tuppani rupanya diam-diam berencana menceraikan Shyller. Dia merekam pertengkarannya dengan istri yang sudah dinikahinya 12 tahun itu untuk dijadikan bukti gugatan perceraian.

Tak Terima Putrinya Diselingkuhi, Mertua Bunuh Menantu di Kedai Kopi
Tak Terima Putrinya Diselingkuhi, Mertua Bunuh Menantu di Kedai Kopi

Tuppani mencoba meyakinkan mertuanya, kalaupun perceraian harus terjadi dia tidak akan meminta hak asuh anak. Kesabaran Tan akhirnya habis ketika dia dan putrinya hanya mendapatkan separuh uang dari hasil penjualan perusahaan yang dipimpinnya. Tuppani adalah sosok yang mendesak Tan untuk menjual perusahaan yang dirintis dengan susah payah pada tahun 1974 oleh Tan.

Adapun alasan penjualan karena kondisi keuangan perusahaan yang tidak begitu sehat. Tan yang mengakui kemampuan berbisnis Tuppani, memilih mempercayakan segalanya kepada si menantu. Tan semakin yakin bahwa sejak awal Tuppani telah merencanakan untuk menceraikan putrinya, merebut kendali perusahaan, dan mengambil hak asuh anak. Kondisi kesehatan fisik dan mentalnya merosot dan dia mengalami susah tidur.

Kronologi pembunuhan berdarah yang dingin

Pada siang hari, Tan sedang dalam perjalanan menuju ke kantornya ketika dia melihat menantu sedang makan siang di kedai kopi di Jalan Telok Ayer. Setibanya di kantor, pelaku menuju ke dapur mengambil sebuah pisau.

Tak Terima Putrinya Diselingkuhi, Mertua Bunuh Menantu di Kedai Kopi
Tak Terima Putrinya Diselingkuhi, Mertua Bunuh Menantu di Kedai Kopi

Sesampainya di kedai kopi Tan menghampiri Tuppani dan berkata,

“Kamu memang keterlaluan.”

Tak lama kemudian dia mengeluarkan pisau dari tas dan menghunuskannya ke dada korban tiga kali. Tuppani sempat coba berlari dengan luka tusuk di dadanya, tapi akhirnya jatuh pingsan di restoran sebelah di Jalan Boon Tat dan meninggal dunia di tempat. Tan kemudian menendang wajah menantunya itu dua kali dan menghalau kerumuman yang kaget bukan kepalang melihat apa yang baru terjadi.

Pengusaha perkapalan itu memberitahu kerumunan,

“Ini menantu saya, tidak perlu tolong dia, dia pantas mati.”

Tan dengan tenang meletakkan pisau di samping meja dan kemudian duduk menunggu kedatangan polisi. Sambil menunggu dia menelepon putrinya dan berkata,

”Ayah tidak bisa tidur kemarin malam. Ayah sudah melakukannya. Jangan menangis. Ayah sudah tua. Ayah tidak takut masuk penjara.”

Tan kemudian menyerahkan diri tanpa perlawanan kepada polisi yang tiba di lokasi. Dia mengaku bersalah di pengadilan. Sepanjang proses pengadilan, Tan terus menyampaikan perbuatannya didasari oleh kasih sayang seorang ayah terhadap putrinya.

Tan diketahui menderita depresi karena kecemasan akan nasib putrinya disertai konflik dengan Tuppani.

“Ayah sangat mencintai keluarganya. Tidak ada yang ingin hal ini terjadi.”

Shyller berkata setelah mengetahui vonis yang harus dijalani ayahanda.

Related posts